43 PERMASALAHAN DALAM I’TIKAF
Terjemahan Dari
Buku Syekh Umar Bin Abdullah))
Segala puji
bagi Rabb semesta alam, Sholawat dan Salam untuk sebaik-baik makhluq Allah
yaitu Nabi kita Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam juga untuk keluarganya,
para sahabatnya serta semua pengikutnya yang setia sampai hari kiamat.
Amma Ba'ad:
I'tikaf adalah termasuk keta’atan yang paling tinggi untuk mendekatkan
diri kepada Allah Subuhanahu Wata’ala, dan didalamnya terdapat makna pendidikan
dan kesucian iman. Yang dengan ini Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam selalu melakukan I'tikaf disetiap tahun.
Begitupun As-sholihin (orang-orang sholeh), mereka I'tikaf di rumah Allah
Subuhanahu Wata’ala untuk mendekatkan
diri kepada-Nya.
Bagi orang yang I'tikaf, ibadah dimalam hari dan disiang hari adalah
sama.
I'tikaf adalah
Kholwah Syar'iyah sebagaimana yang dikatakan ibnu rajab didalam kitabnya latho'iful
ma'arif : " I'tkaf ini adalah
Kholwah Syar'iyah yang dilakukan didalam masjid untuk meninggalkan perkumpulan
dan keramaian. Maka kholwah adalah
mengasingkan diri dari jama'ah dan keramaian yang dilarang darinya"
Beliau juga berkata: " Kholwah Syar'iyah untuk umat ini adalah
I'tikaf di masjid, khususnya di Bulan Ramadhon dan khususnya lagi di sepuluh
hari terakhir di Bulan Ramadhon.
I'tikaf adalah termasuk sebab yang paling ampuh untuk menghidupkan hati
dan melunakkanya dari kekerasan. Karena didalamnya seseorang betul-betul
mengosongkan dirinya hanya untuk beribadah, dengan itu akan mengatur hati dan
kekhusyu'an jiwa.
Ibnu Rajab Rahimahullah berkata:
" I'tikaf adalah memutuskan ikatan dengan makhluk untuk menyambung
keta'atan kepada sang khaliq".
Makna imaniyah tabawiyah dari I'tikaf banyak sekali. Dan pembicaraan
ahlul ilmi dalam hal ini sudah kita ketahui. Adapun yang kami maksudkan dalam
buku ini adalah menjelaskan sebagian masalah dan hukum yang berkaitan dengan
I'tikaf yang itu sangat dibutuhkan .
Empat puluh tiga permasalahan dalam I'tikaf ini dilandaskan dengan dalil
dan perkataan para ulama:
1.
APAKAH I'TIKAF ITU?
I'tikaf adalah berdiam diri dalam masjid dengan niat
mendekatkan diri pada Allah Subuhanahu Wata’ala dan beribadah pada-Nya.
2. HUKUM I'TIKAF
I'tikaf Sunnah Nabawiyah dan Syari'ah Rabbaniyah yang
disebutkan Allah dalam kitabnya. Allah subuhnahu wata'ala berFirman:
{وَطَهِّرْ
بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ}
Artinya: Dan Sucikanlah
Rumahku untuk orang-orang yang tawaf, shalat, ruku’ dan sujud (Q.S Al-Haj:26)
Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam juga telah
melakukan I'tikaf sebagaimana yang Diriwayatkan Bukhari
كَانَ
يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
Artinya : “Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam melakukan i’tikaf
disepuluh hari terakhir dibulan Ramadhon sampai beliau wafat” (H.R Bukhari,
Hadits Nomor 2027, Muslim Hadits Nomor
1172)
3.
HUKUM I'TIKAF DI MASJID HARAM DAN MASJID NABAWI
Hukumnya adalah mustahabbun berdasarkan ijma' ulama dan
tidak ada seorang ulamapun yang menyelisihi itu. Berdasarkan Firman Allah
Subuhanahu Wata’ala:
{وَطَهِّرْ
بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ}
Artinya: Dan Sucikanlah
Rumahku untuk orrang-orang yang tawaf, shalat, ruku’ dan sujud (Q.S Al-Haj: 26)
Ini adalah dalil I'tikaf dimasjid haram. Adapun dalil
I'tikaf di Masjid Nabawi adalah perbuatan Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi
Wasallam. Beliau telah beri'tikaf di
masjidnya (Masjid Nabawi) sebagaimana yang dikatakan ‘Aisyah Radhiyallahu
‘Anha didalam hadits yang Diriwayatkan
Bukhari dan Muslim.
4. HUKUM I'TIKAF DISELAIN MASJID HARAM
DAN MASJID NABAWI
Dalam hal ini, terjadi perbedaan
pendapat dikalangan ahlul ilmi. Diriwayatkan dari Hudzaifah Al-Yaman dan sa’ied
bin Musayyib Sesungguhnya mereka berdua berkata: tidak ada I'tikaf kecuali di
Masjid Haram dan Masjid Nabawi, mereka berdua tidak membolehkan I'tikaf kecuali
dikedua masjid itu.
Adapun ahlul ilmi dari para sahabar
secara umum seperti ali bin abi thalib, abdullah bin mas'ud , abdullah bin
abbas dan umumnya fuqaha' seperti Imam malik, Imam syafi'i dan Imam ahmad
mereka berpendapat: " sesungguhnya boleh I'tikaf di semua masjid yang
didalamnya didirikan sholat jum'at, ini berdasarkan Firman Allah Subuhanahu
Wata’ala:
وَلاَ
تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya: Dan janganlah kalian menggauli mereka sedangkan
kalian sedang i’tikaf di masjid (Q.S Al-baqarah : 187)
Allah Subuhanahu Wata’ala mengglobalkan masjid dengan
bentuk jama'. Maka dengan itu masjid secara umum, baik itu masjid haram, Masjid
Nabawi ataupun masjid-masjid yang lain dan inilah yang rojih.
Sa’ied Bin Zubair Berkata: " boleh
i'tikaf didalam masjid yang didalamnya didirikan shalat lima waktu saja seperti
zawiyah, masjid kecil (mushollah), maka dibenarkan I'tikaf didalamnya. Dan
keluar shalat jum'at dimasjid besar kemudian kembali lagi ketempat i'tkaf untuk
melanjutkan I'tikaf.
5. APAKAH MENSYARATKAN PUASA SEBAGAI
SYARAT SYAHNYA I'TIKAF?
Abu Huirairah, Abdullah Bin Umar Dan
'Aisyah Radhiyallahu Anhum Berpendapat : “Sesungguhnya tidak ada I'tikaf
kecuali dengan puasa ".
Adapun Ali Bin Abi Tholib, Abdullah Bin
Mas'ud, Imam Malik, Imam Syafi'i Dan Imam Ahmad Serta Yang Lainya Berpendapat:
" Sesungguhnya boleh i'tikaf walaupun tanpa puasa". Dan inilah yang
benar.
Abdullah Bin
Abbas Berkata: Tidak ada puasa bagi orang yang i'tikaf kecuali ia mengharuskan
dirinya untuk puasa". Yang menunjukkan itu adalah apa yang Diriwayatkan
Bukhari dan Muslim:
عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ نَذَرَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَعْتَكِفَ فِي
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ أُرَاهُ قَالَ لَيْلَةً قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْفِ بِنَذْرِكَ
Artinya: “ Dari Nafi' Dari Ibnu Umar sesungguhnya beliau
berkata: aku bernazdza diwaktu jahiliyah untuk i'tikaf satu malam dimasjid
haram, kemudian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam Bersabda padanya: "tunaikan nadzarmu".
Umar Rahdiyallahu ‘anhu bernadzar untuk
i'tikaf satu malam. Dan malam dimulai sejak terbenamnya matahari dan saat ini
bukan dibulan puasa, , kemudian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam Bersabda padanya: "Tunaikan
Nadzarmu". Yaitu: "i'tikaflah!"
Itu menunjukkan bahwa i'tikaf tidak
mensyaratkan harus puasa. Kita bisa memetik pelajaran dari sini bahwa orang yang sedang sakit kemudian berbuka maka
itu tidak membatalkan i'tikafnya dikarenakan terputus puasanya.
6.
HUKUM JIMA' BAGI ORANG YANG SEDANG I'TIKAF
Jima' bagi orang yang sedang I'tikaf adalah haram dan itu
akan membatalkan I'tikaf. Berdasarkan Firman Allah Subuhanahu Wata’ala:
Artinya: Dan Janganlah menggauli mereka (istri-istrimu)
sedangkan kalian sedang beri'tikaf dimasjid". Yaitu jangan menyetubuhinya.
Maka haram bagi orang yang sedang I'tikaf meniduri dan menggauli istrinya.
7. HUKUM PENDAHULUAN JIMA' BAGI ORANG
YANG SEDANG I'TIKAF SEPERTI MENCIUM, MEMANDANG DENGAN PANDANGAN SYAHWAT DAN
SEBAGAINYA.
Imam Malik Dan Ahlul Ilmi Secara Umum
Berpendapat bahwa tidak boleh bagi orang yang sedang i'tikaf untuk melakukan
perbuatan yang menuju kebada jima' karena i'tikaf landasanya adalah ibadah dan
berpaling dari dunia secara utuh. Adapun muqaddimah jima' adalah perkara dunia
yang akan menghilangkan niat atau maksud i'tikaf. Oleh karena itu, orang yang
sedang i'tikaf tidak boleh melihat istinya dengan pandangan nafsu dan tidak boleh
menciumnya, juga tidak boleh memegangnya dengan nafsu karena itu akan
menghilangkan niat dan maksud dari i'tikaf.
8.
HUKUM I'TIKAF BAGI PEREMPUAN
Sebagian ahlul ilmi memakruhkan
perempuan untuk ber-i'tikaf dimasjid. Ini perkataan Imam Abu Hanifah An-nu'man
ketika beliau berkata: " Seorang wanita jika ingin beri'tikaf maka
i'tikaflah dirumahnya yaitu di tempat ia
sholat didalam rumahnya”.
Adapun Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam
Syafi'i juga para Sahabat Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam seperti ibnu abbas, 'Aisyah, Hafsah, Zainab
dan yang lainya mengatakan: " Bahwa boleh bagi perempuan untuk i'tikaf
dimasjid dengan syarat tidak terlalu menghiasi diri, tidak berwangi-wangian dan
tidak menampakkan dirinya didepan laki-laki serta tidak menjadikan keberadaanya
dimasjid menjadi firnah bagi yang lainya".
Jika seperti
itu, maka boleh bagi perempuan untuk i'tikaf sekalipun ia pemudi (wanita
remaja). Tidak ada perbedaan bagi perempua remaja dan perempuan tua dalam
masalah i'tikikaf, berdasarkan riwayat bukhari dan muslim dari jalur A'isyah
Radhiyallahu 'anha ia Berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ
ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Artinya:"Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam beri'tikaf Sepuluh hari terakhir dibulan
Ramadhon sampai beliau wafat kemudian para istrinya beri'tikaf
setelahnya".
Didalam Shohihain diriwayatkan dari
‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha ia
Berkata : hafshah minta izin kepada Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam untuk
ber'itikaf kemudian beliau mengizinkanya kemudian shofiyah melihat khibah
hafsah iapun membuat khibah, kemudian Zainab melihat khibah Shofiyah dan iapun
membuat khibah, ketika Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam keluar beliau bersaba: apa ini? Kemudian
dikaabarkankeadanya: ini khibah Hafsah, ini khibah Zainab, ini khibah Shofiyah.
Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam
pun mengetahui maksud mereka adalah cemburu dan saling bersanding.
Kemudian beliau Bersabda: " apakah kebaikan yang kalian inginkan?"
kemudian beliau menyuruh mereka untuk kembali kerumahnya masing-masing.
Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam memutuskan i'tikafnya pada tahun itu untuk
memperbaiki keharmonisan para istrinya.
9. HUKUM PEREMPUAN YANG KEDATANGAN HAID
DITENGAH-TENGAH I'TIKAF
Pendapat ahlul ilmi yang paling dzohir
dalam hal ini adalah terputus I'tikaf wanita yang kedatangan haid. Dan masalah
ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama akan tetapi yang paling dzohir
dari pendapat-pendapat itu adalah terputus I'tikaf perempuan itu dan harus
mengqodho'nya dihari yang lain, karena ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha tidak masuk tidak masuk kepada Rasulullah Shollallahu
‘Alaihi Wasallam ketika ia haid.
Sebagaimana yang Diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu
‘Anha ia Berkata :
Artinya: “Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam mengeluarkan kepalanya sedangkan beliau
sedang I'tikaf kemudian aku merapikan rambutnya sedangkan aku sedang
haid".
Arjaluh yaitu
merapikan, memperbaiki dan menghiasinya. Kalau seandainya perempuan haid boleh
I'tikaf maka pastilah ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha telah beri'tikaf bersama Rasulullah Shollallahu
‘Alaihi Wasallam saat itu.
Perempuan yang sedang I'tikaf kemudian
kedatangan haid maka ia harus keluar dari masjid dan pulang kerumahnya.
Masalah ini berbeda dengan perempuan haid kemudian masuk
masjid. Kita harus membedakan keduanya. Maka boleh bagi wanita haid untuk masuk
masjid tapi tidak boleh I'tikaf. Karena perempuan haid masuk masjid hanya
sebentar dan ia bisa menjamin agar darah haid tidak menetes keluar di masjid.
Sedangkan perempuan haid yang I'tikaf menginap dalam masjid berhari-hari dan
bermalam-malam, tidak bisa menjamin darah haidnya untuk tidak menetes keluar
dimasjid.
10. WAKTU YANG
PALING AFDHOL (UTAMA) UNTUK I'TIKAF
Waktu yang paling utama untuk I'tikaf
adalah Sepuluh hari terakhir di bulan ramadhon. Karena Rasulullah Shollallahu
‘Alaihi Wasallam I'tikaf Sepuluh hari
kedua di bulan ramdhon, tatkala mengetahui bahwa lailatul qadr berada di
Sepuluh hari terakhir dibulan Ramadhon beliaupun memerintahkan para sahabatnya
untuk kembali bersamanya kerumahnya masing-masing, kemudian mereka I'tikaf di
Sepuluh hari terakhir dibulan Ramadhon.
11. HUKUM BERI'TIKAF DI SEPULUH HARI
PERTAMA DAN SEPULUH HARI KEDUA DIBULAN RAMADHON
seorang yang ingin I'tikaf sebulan penuh
atau dua puluh hari terakhir dibulan Ramadhon maka itu tidaklah mengapa bahkan
itu mustahabbun dan akan mendapatkan ganjaran disisi Allah, berdasarkan hadits
yang Diriwayatkan Bukhari dari abu hurairah radhiyAllahu 'anhu ia berkata: Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam I'tikaf
Sepuluh hari dibulan ramadhon, ketika tahun yang didalamnya beliau wafat beliau
I'tikaf 20 hari.
Itu menunjukkan boleh I'tikaf Sepuluh
hari kedua dibulan ramadhon, begitu juga Sepuluh hari pertama.
12.
HUKUM 'ITIKAF DISELAIN BULAN RAMADHON
Boleh I'tikaf diselain bulan Ramadhon
secara umum. Allah Subuhanahu Wata’ala berFirman:
{وَطَهِّرْ
بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ}
Artinya: Dan Sucikanlah Rumahku untuk orang-orang yang tawaf, shalat,
ruku’ dan sujud (Q.S Al-Haj: 26)
Allah Subuhanahu Wata’ala tidak
mensyaratkan I'tikaf itu dibulan Ramadhon saja. Dan seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa Umar Radhiyalahu 'Anhu bernadzar untuk I'tikaf satu
malam dimasjid haram kemudian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam Bersabda kepadanya: tunaikan nadzarmu. Dan
itu bukan pada ramadhon. Ini menunjukkan bahwa boleh I'tikaf diselain bulan
ramadhon.
Dan untuk lebih jelasnya seperti yang
diriwayatkan dalam shohihain dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha ia Berkata: Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi
Wasallam I'tikaf Sepuluh hari terakhir
diBulan Ramadhon kemudian hafsah membuatkan khibah untuknya, dan zainab juga
membuatkan khibah untuknya maka Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam Bersabda:
"" kemudian Nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam keluar dari masjid dan
I'tikaf sepuluh hari dibulan syawal”.
Dan didalam riwayat bukahari disebutkan:
" beliau I'tikaf sepuluh hari terakhir dibulan syawal".
Itu menunjukkan bahwa boleh I'tikaf diselain bulan
ramadhon.
13. HUKUM BERBICARA DENGAN ISTRI
DITENGAH-TENGAN I'TIKAF
Tidak apa-apa seseorang berbicara dengan
istrinya ditengah-tengah ia ber'itikaf. Menanyakan keadaanya atau keadaan
anak-anaknya serta keluarganya.semua itu tidak mengapa, berdasarkan hadits yang
Diriwayatkan Bukhari dan muslim didalam shohihain: " Sesungguhnya Shofiyah
Radhiyallahu 'Anhu menziarahi Nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam yang sedang
I'tikaf, kemudian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam berbicara denganya beberapa saat.
Itu menunjukkan bahwa tidak apa-apa bagi
seorang suami yang sedang I'tikaf berbicara dengan istrinya.
14. HUKUM
MENYENTUH ISTRI TANPA SYAHWAT BAGI SEORANG YANG SEDANG I'TIKAF
Tidak apa-apa bagi seorang yang sedang
I'tikaf untuk menjabat tangan istrinya atau dirapikan rambutnya oleh istrinya,
sebagaimana yang Diriwayatkan Bukhari dan muslim, dari ‘Aisyah Radhiyallahu
‘Anha ia Berkata : " Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi
Wasallam mengarahkan kepalanya kepadaku
sedangkan beliau didalam masjid kemudian aku rapikan rambutnya sedangkan aku
sedang haid."
A'isyah radhiyAllahu 'anha menyentuh Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam dan beliau
tidak mengqodho' I'tikafnya dan itu tidak menjadikan I'tikafnya batal. Ini juga
tidak mengurangi pahala seorang yang I'tikaf.
15. HUKUM SEORANG ISRTI YANG MENZIARAHI
SUAMINYA YANG SEDANG I'TIKAF
Hadits Shohih Dari Shofiyah Radhiyallahu
'Anha sebagaimana yang Diriwayatkan Bukhari : "Sesungguhnya beliau telah
menziarahi Nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam yang sedang I'tikaf dan Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam tidak
melarang akan itu".
Ini menunjukkan bahwa boleh bagi seorang
istri untuk menziarahi suaminya yang sedang I'tikaf baik itu untuk
ngomong-ngomong denganya tentang satu perkara atau untuk membawakanya makanan
atau untuk menanyakan keadaan dan kabarnya. Semua itu tidak apa-apa dan juga
tidak makruh.
16. HUKUM KELUAR
DARI MASJID BAGI ORANG YANG SEDANG I'TIKAF
Seorang yang sedang I'tikaf apabila
keluar dari masjid maka I'tikafnya akan
batal kecuali karena ada keperluan. ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata didalam hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhari: " Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam ketika I'tikaf tidak keluar
dari masjid kecuali karena ada keperluan
".
Beliau tidak keluar untuk membeli
barang-barang atau untuk menziarahi si fulan ataupun tidak untuk yang lainya.
Tidak boleh bagi orang yang sedang
I'tikaf keluar masjid selamanya kecuali ada kebutuhan syar'I yang dibenarkan.
17. HUKUM KELUAR DARI MASJID UNTUK MAKAN
ATAU MINUM ATAU MEMBUANG AIR.
Boleh bagi seorang yang sedang I'tikaf keluar masjid
untuk makan atau minum atau membuang
air, itu tidak apa-apa dan tidak akan membatalkan I'tikaf.
18. HUKUM MENZIARAHI ORANG SAKIT DAN
MENGANTAR JANAZAH BAGI ORANG YANG SEDANG I'TIKAF
Imam malik Rahimahullah berkata: " seorang yang I'tikaf tidak
boleh keluar untuk jenazah kedua orang tuanya, maka dari bab aulawiyyah untuk
tidak keluar mengantar jenazah yang lain.
Akan tetapi Imam Syafi'i, Imam Ahmad Dan
Jam'ah Ahlul Ilmi berpendapat bahwa boleh bagi seorang yang sedang I'tikaf
untuk keluar kejanazah yang harus ia hadiri seperti jenazah bapaknya, ibunya
atau istrinya ataupun salah satu anaknya. Maka boleh baginya untuk keluar dari
tempat I'tikafnya. Dan itu tidak menjadikan I'tikafnya terputus.
Dan tidak boleh keluar untuk jenazah yang selain
disebutkan diatas karena ia sedang sibuk dengan I'tikaf.
Adapun menjenguk orang
yang sedang sakit maka tidak boleh bagi orang yang sedang I'tikaf untuk
menjenguk orang yang sakit kecuali jika ia mengetahui bapak atau ibunya yang
sedang sakit itu dalam keadaan gawat. Atau kemungkinan besar sakitnya itu akan
menyebabkan ia mwninggal. Maka dalam hal ini boleh bagi mu’takif untuk
menjenguk mereka.
Apabila tidak ada yang menjaga ayah atau ibunya yang
sedang sakit, maka wajib baginya untuk memutuskan I'tikafnya karena menjaga
atau merawat orang tua adalah lebih utama dari I'tikaf.
19.
WAKTU MINIMAL UNTUK I'TIKAF
Ahlul ilmi berbeda pendapat dalam hal ini. Ada yang
mengatakan bahwa boleh I'tikaf sekalipun
diantara dua wktu shalat wajib yaitu tidak ada waktu minimal untuk I'tikaf
sekalipun sepuluh menit, Ini madzhab Imam ahmad didalam salah satu riwayat
darinya.
Ada yang mengatakan bahwa tidak ada I'tikaf kecuali
sempurna sehari semalam.
Ada juga yang mengatakan bahwa boleh I'tikaf semalam saja. dan ini batas
minimal I'tikaf atau I'tikaf sehari penuh.
Imam bukhari Rahimahullah berkata
didalam shohihnya: " Bab orang yang I'tikaf semalam dimasjid
haram" kemudian meriwayatkan dari Umar Radhiyallahu 'Anhu : "
Sesungguhnya ia bernadzar untuk beri'tikaf semalam dimasjid haram kemudian Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam Bersabda
padanya: " tunaikan nadzarmu".
20. HUKUM MENGQODHO' I'TIKAF BAGI ORANG
YANG MENINGGALKANYA
Apabila ia selalu I'tikaf setiap tahun
kemudian disuatu waktu ia meninggalkanya, maka mustahabbun baginya untuk
menggantinya (mengqodho') di selain Bulan Ramadhon sebagaimana yang
Diriwayatkan Bukhari dan muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha ia Berkata
: " Sesungguhnya Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam tidak I'tikaf disuatu tahun kemudian beliau
I'tikaf Sepuluh hari terakhir dibulan
syawal".
Beliau mengqodho' I'tikafnya. Dan ini
menjadi kaedah umum disetiap ibadah dan keta'atan termasuk yang berbentuk nafilah. Adapun yang berbentuk
fardhu maka disyari'atkan bagi hamba yang tertinggal ibadahnya untuk mengqodho'nya
diwaktu yang lain.
Jika ia lupa melaksanakan dua raka'at
subuh maka mustahabbun untuk mengqodho'nya setelah terbit matahari, begitu juga
dengan shalat malam, mustahabbun untuk mengqodho'nya disiang hari. Sebagaimana
hadits yang diriwaytkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha ia Berkata
: " Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam apabila ketiduran atau sibuk
sehingga tidak sempat shalat malam maka beliau shalat 12 raka'at disiang
hari".
Hukum ini umum disetiap ibadah baik dalam I'tikaf atau
yang lainya.
21. HUKUM KHIBA'
BAGI ORANG YANG I'TIKAF
Khiba' adalah tempat berdiamnya orang yang I'tikaf
untuk dirinya sendiri dan ia berdiam diri didalamnya.
Sunnah bagi orang yang I'tikaf untuk membuat khibah
untuk dirinya yaitu tempat yang membatasi dirinya dengan orang lain didalam
masjid.
Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam membuat khiba' untuk
dirinya, begitupun para istrinya setelah beliau wafat, mereka membuat khiba'
untuk diri mereka.
Jadi membuat khiba' adalah
sunnah bagi seorang yang I'itikaf. Didalamnya ia sibuk dengan rabbnya baik
dengan berdoa, dzikir dan sholat ataupun dengan amal sholeh lainya.
22. HUKUM BERDIRI DIPINTU MASJID ATAU
DISERAMBI MASJID BAGI ORANG YANG SEDANG I'TIKAF
Shofiyah Radhiyallahu 'Anha Meriwayatkan, sebagaimana
yang di
riwayatkan oleh Bukhari Dan Muslim Dari Ali Bin Husain Sesungguhnya
Shofuyah Mengabarkanya: " Bahwa Ia menjenguk Nabi Shollallahu ‘Alaihi
Wasallam yang sedang I'tikaf kemudian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam berbicara dengannya beberapa sa'at. Kemudian
Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam berdiri dengannya dan menciumnya.
Ketika didepan pintu masjid dua orang laki-laki melihatnya, dan kedua laki-laki
tersebut mempercepat jalanya kemudian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam Bersabda:" tenanglah kalian,
sesungguhnya dia adalah shofiyah, mereka menjawab: Maha suci Allah wahai
Rasulullah, Rasulullah menjawab: "sesungguhnya syetan mengalir besama
aliran darah anak cucu adam dan yang aku takutkan muncul prasangka didalam hati
kalian ".
Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam ingin membela
dirinya ketika mereka melihatnya bersama dengan seorang perempuan dan beliau
ingin agar mereka berdua agar tidak menyangka bahwa perempuan itu adalah bukan
istrinya.
Dan yang kita jadikan hujjah disini adalah Rasulullah
pergi kepintu masjid yaitu di teras masjid bersama istrinya shofiyah sedangkan
beliau dalam keadaan I'tikaf.
23.
KAPAN SEORANG YANG I'TIKAF MULAI MASUK MASJID?
Seorang yang ingin I'tikaf mulai masuk
masjid sejak terbenam matahari dihari ia
mau melakukan I'tikaf. contohnya ia ingin I'tikaf Sepuluh hari terakhir dibulan
Ramadhon maka ia masuk masjid sebelum
terbenam matahari dihari ke dua puluh Ramadhon karena malam ke dua puluh satu
adalah termasuk dari hari ke dua puluh satu.
24.
I'TIKAF WANITA YANG MENGALAMI DARAH ISTIHADHOH
Wanita yang istihkadhoh bukan seperti wanita yang
haid. Wanita yang sedang haid tidak boleh shalat dan tidak boleh puasa
sedangkan wanita yang keluar darah istikhadhohnya dia harus shalat, harus puasa
dan ia boleh membaca al-qur'an. Karena 'istikhadhoh' adalah al-‘irq bukan haid
sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah shollllahu 'alaihi wasallam.
Al-‘irq artinya istikhadhoh yaitu luka yang ada dalam
rahim yang kemudian mengeluarkan darah melalui kemaluan dan itu bukan seperti
haid. Dan adapun haid datang dari lobang rahim. Dan ia datang pada perempuan di
setiap bulan satu kali. Beda halnya dengan istikhodhoh ia kadang-kadang terjadi
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sebagaimana yang terjadi disebagian
shohabiyyah (sebagian wanita dizaman Rasulullah), mereka mengalami istikhadhoh
kadang-kadang tujuh tahun.
Maka boleh bagi wanita yang istikhadhoh untuk
melakukan I'tikaf, dan itu tidak membatalkan I'tikaf jika darah keluar. Seperti
yang Diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha ia
Berkata: " telah beri'tikaf salah
satu istri Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam sedangkan ia mengalami istikhadhoh, ia
melihat darah, dan kadang-kadang ketika ia shalat ia meletakkan tempat kecil
dibawahnya".
Jadi, perempuan yang
istikhadhoh boleh beri'tikaf, dan darah istikhadhohnya keluar tidak menjadikan
I'tikaf atau shalatnya batal.
25.
KEADAAN ORANG YANG I'TIKAF DIDALAM MASJID
‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: "Rasulullah Shollallahu
‘Alaihi Wasallam apabila masuk sepuluh
hari terakhir Bulan Ramadhon beliau menghidupkan malamnya dan menguatkan ikat
pinggangnya serta membangunkan keluarganya".
‘Aisyah Radhiyallahu Anha Berkata
Didalam Hadits Yang Diriwayatkan Muslim: " Nabi Shollallahu ‘Alaihi
Wasallam bersungguh-sungguh di Sepuluhhari terakhir lebih dari hari-hari yang
lainya.".
Yaitu : bersungguh-sungguh dalam ibadah. Maka sunnah
bagi orang yang sedang I'tikaf untuk tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang
bukan ibadah. Sebagian manusia menjadikan I'tikaf sebagai kesempatan untuk
saling mengenal antara satu sama lain. Menghabiskan waktunya untuk
kumpul-kumpul dan cerita-cerita. Ini menghilangkan maksud dan niat dari
I'tikaf. Maksud I'tikaf adalah meninggalkan segalanya untuk beribadah kepada Allah
Subuhanahu Wata’ala. I'tikaf adalah madrasah pendidikan yang sangat tinggi
untuk mendidik diri seorang hamba didalamnya seperti diam yang menjadi
perhiasan bagi laki-laki, dan membina diri seorang yang I'tikaf untuk
bersungguh-sungguh dan berijtihad sekuat mungkin untuk sabar dalam ketaatan
pada Allah Subuhanahu Wata’ala, dan untuk mengasingkan diri bersama Allah
ta'ala dan berdoa pada Allah secara diam dan membaca al-qur'an serta shalat
didalam khiba'nya.
Tempat I'tikaf adalah madrasah pendidikan yang agung,
akan keluar darinya hamba yang semakin kuat imanya, semakin tinggi derajatnya
disisi Allah Subuhanahu Wata’ala. Maka tidak perlu bagi seorang yang sedang
I'tikaf untuk menyibukkan diri selain ibadah dan ta'at pada Allah.
26. KAPAN SEORANG YANG I'TIKAF MASUK
KEDALAM KHIBA'NYA
Telah dipaparkan sebelumnya akan makna khiba'. Seorang
yang I'tikaf masuk kedalam khiba'nya setelah fajar hari kedua puluh satu
sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah Radhiyallahu 'Anha didalam shohihain ia
berkata: " Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam jika telah selesai shalat
fajar maka beliau masuk kedalam khiba'nya”.
Dan didalam riwayat lain : " Apabila telah
selesai shalat shubuh beliaupun masuk kedalam tempat beliau I'tikaf".
Yaitu khiba' yang menjadi tempat beliau beribadah.
Ini berbeda dengan seorang yang masuk kedalam masjid
untuk I'tikaf. Beliau masuk kedalam masjid sebelum terbenam matahari di hari
yang ke dua puluh di Bulan Ramadhon dan masuk kedalam khiba'nya setelah
mendirikan shalat subuh. Dan ini hukumnya mustahabbun.
27.
HUKUM ORANG YANG BERNAZDAR UNTUK BERI'TIKAF.
Telah dipaparkan sebelumnya, bahwa I'tikaf adalah
sunnah bukan wajib. Akan tetapi jika seorang hamba bernadzar untuk I'tikaf maka
hukumnya akan menjadi wajib karena seorang yang bernadzar untuk I'tikaf ia
mengharuskan dirinya kepada sesuatu yang tidak diwajibkan untuknya. Jika ia
berkata: "aku bernadzar untuk I'tikaf" maka I'tikaf itu akan menjadi
wajib untuknya sebagaimana yang Diriwayatkan Bukhari dari Umar Radhiyallahu
'Anhu sesungguhnya Ia Berkata: " Aku bertanya Nabi shollllahu 'alaihi
wasallam, aku berkata: " Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku bernadzar
untuk I'tikaf satu malam dimasjid haram ketika zaman jahiliyyah, maka Nabi
menjawab: "Tunaikan Nadzarmu"
Oleh karena itu, barang
siapa yang bernadzar untuk I'tikaf maka wajib baginya untuk beri'tikaf. Jika ia
telah menentukan waktunya maka ia harus I'tikaf di hari yang telah ia tentukan
itu.
28.
HUKUM MEMUTUSKAN I'TIKAF
Mayoritas ahli ilmu berkata : " Makruh hukumnya memutuskan I'tikaf .
Imam Malik berkata: “ Barang siapa yang berniat untuk
I'tikaf dan masuk kedalamnya maka haram untuk memutuskanya”, karena Imam malik
Rahimahullah berkata: " ada
sebagian ibadah yang hukumnya mustahabbun yang apabila seseorang masuk
kedalamnya maka akan menjadi wajib baginya, diantaranya adalah i'tikaf
Abu Su'ud Berkata Dalam Kitabnya Al-Marooqy:
Dan ibadah sunnah tidak tidak disyari'atkan untuk menjadi
keharusan
Didalam yang tidak ditentukan untuk menjadi taqarrub
Sholat kita, Puasa kita dan haji kita
Umrah kita dan begitu juga I'tikaf kita.
Lima permasalahan ini menurut Imam
malik: "Barang siapa yang telah masuk didalamnya maka wajib baginya untuk
menyempurnakannya, lima permasalahan itu adalah Sholat sunnah, Puasa sunnah,
haji sunnah, umrah sunnah dan I'tikaf.
Dan yang rojih adalah ibadah tatawwu'
yang kemudian seseorang mengharuskan dirinya untuk melakukan tatawwu' itu,
seperti I'tikaf. jika ia ingin maka ia I'tikaf dan jika ia ingin putuskan maka
tidak apa-apa tapi makruh hukumnya memutuskan ibadah, ini berdasarkan Firman Allah
Subuhanahu Wata’ala:
Artinya: " dan janganlah engkau batalkan amal-amal
kalian"
29. HUKUM MENGELUARKAN SEBAGIAN BADAN
DARI MASJID BAGI ORANG YANG SEDANG I'TIKAF
Seperti kepala atau tangan atau salah satu kaki maka itu
tidak akan memutuskan I'tikaf seseorang kecuali jika ia mengeluarkan seluruh
badanya dari masjid, ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘Anha didalam shohihain Ia
Berkata: "Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam mengeluarkan kepalanya sedangkan
beliau dalam I'tikaf kemudian aku mengatur dan merapikan rambutnya sedangkan
aku dalam keadaan haid".
30.
HUKUM PERSYARATAN DIDALAM I'TIKAF
Persyaratan adalah niat sebelum masuk
I'tikaf untuk melaksanakan suatu keperluan. Contohnya: dia ingin menemui
seseorang di malam yang ke dua puluh lima
dan ia berniat itu sebelum ia beri'tikaf bahwa ia akan keluar dihari itu
untuk menemui si fulan kemudian kembali untuk beri'tikaf
Imam Syafi'i Dan Imam Ahmad Berkata: “
Tidak apa-apa bersyarat dalam I'tikaf ”. Mereka berdua membolehkanya.
Imam Malik
Berkata: “ Tidak boleh bersyarat dalam I'tikaf ”, alas an beliau karena ini
belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam juga para
sahabatnya yang I'tikaf setelah beliau. Dan inilah yang rojih
"sesungguhnya tidak benar bersyarat dalam I'tokaf”.
Jika seorang yang sedang I'tikaf keluar
untuk kebutuhan yang harus ia tunaikan, itu tidak menjadikan I'tikafnya putus.
Adapun yang tidak menjadi kebutuhan maka
tidak boleh ia keluar dari masji . jika ia keluar dari masjid kepada sesuatu
yang tidak menjadi kebutuhanya sekalipun ia telah bersyarat sebelum I'tikaf
maka I'tikafnya akan terputus.
31. HUKUM I'TIKAF DIMASJID YANG TELAH DITINGGALKAN,
YANG TIDAK DIDIRIKAN LAGI SHALAT LIMA WAKTU DIDALAMNYA
Tidak boleh I'tikaf didalam masjid ini, karena tidak ada
I'tikaf kecuali didalam masjid yang didalamnya didirikan Shalat Lima Waktu karena jika I'tikaf disitu maka perlu keluar
disetiap waktu shalat untuk melaksanakan shalat dimasjid lain. Dan karena Shalat Jama'ah adalah wajib bagi
semua laki-laki baik itu bagi yang bermukim (tidak melakukan perjalanan)
ataupun bagi yang sedang dalam perjalanan. Begitupun bagi yang sedang I'tikaf
atau yang tidak sedang I'tikaf.
32. HUKUM I'TIKAF DIMASJID YANG TIDAK
DIDIRIKAN SHALAT JUM'AT DIDALAMNYA TAPI DIDIRIKAN SHOLAT LIMA WAKTU DIDALAMNYA.
Ali Bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud Dan Ibnu
Abbas berpendapat “ Bahwa tidak ada I'tikaf kecuali didalam masjid yang dilaksanakan
Shalat Jum'at didalamnya, Sehingga tidak membutuhkan keluar dari masjid untuk
melaksnakan shalat jum'at”.
Akan tetapi Sa’ied Bin Jubair dan Imam
Malik didalam salah satu Riwayatnya berpendapat “ Bahwa boleh I'tikaf didalam
masjid yang tidak dilaksanakan Shalat Jum'at didalamnya tapi didirikan Shalat
Lima Waktu.
Dan untuk kehati-hatian bagi seorang
yang I'tikaf keluar dari khilaf tersebut, agar I'tikaf dimasjid yang didirikan
Shalat Jum'at didalamnya.
33. HUKUM KELUAR DIHALAMAN MASJID BAGI
ORANG YANG SEDANG I'TIKAF
Kaedah dikalangan ahlul ilmi: " sesungguhnya pagar
masjid adalah bagian dari masjid. Dan semua yang dijadikan bagian dari sesuatu
maka diambil hukum dari sesuatu itu".
Artinya: "halaman masjid adalah bagian dari masjid
dan boleh bagi orang yang I'tikaf untuk keluar kehalaman itu. dan itu tidak
mengapa.
34. HUKUM MELAKUKAN JUAL BELI BAGI ORANG
YANG SEDANG I'TIKAF
Contohnya seseorang diwasiatkan oleh
temannya untuk menyempurnakan akad tertentu atau membeli barang tetentu
untuknya.
Imam malik berkata: Jika itu sesuatu yang ringan maka
tidak mengapa. Dan jika menjadikan I'tikafnya kemungkinan besar akan menjadi
perkara jual beli maka tidak perlu seorang yang I'tikaf untuk melakukan itu.
Karena itu akan menghilangkan niat dan maksud I'tikafnya.
seorang yang
I'tikaf membeli kebutuhanya, maka ini tidak apa-apa beda halnya dengan ia
membeli sesuatu yang bukan kebutuhan I'tikafnya seperti untuk diperdagangkan
atau yang lainya, maka ini yang dimakruhkan oleh ahlul ilmi.
35. KAPAN I'TIKAF DI SEPULUH HARI TERAKHIR BULAN RAMADHON
BERAKHIR?
Apabila seseorang melakukan I'tikaf sepuluh hari terakhir
di Bulan Ramadhon maka I'tikafnya akan selesai ketika matahari terbenam dihari
terakhir Bulan Ramadhon. Jika dihari ke dua puluh sembilan anda mengetahui
bahwa besok adalah hari 'ied maka boleh bagi anda untuk keluar dari I'tikaf
ketika terbenam matahari. Dan tidak wajib bagi anda untuk berdiam dimasjid
sampai subuh. Atau jika Ramadhon sempurna tiga puluh hari maka anda tidak boleh
keluar dari I'tikaf kecuali setelah terbenam matahari dihari yang ke- tiga
puluh itu.
36. HUKUM MELAMAR DAN MENIKAH BAGI ORANG YANG SEDANG
I'TIKAF
Tidak apa-apa bagi seorang yang sedang
I'tikaf untuk keluar melamar atau menikah dengan syarat tidak boleh memegang
atau menyentuh istrinya. Yaitu akad saja. Tapi tidak menyentuhnya dan tidak
menciumnya atau yang lainya.
Imam malik menashkan bahwa khitbah dan
nikah bagi orang yang sedang I'tikaf adalah sah. Begitupun yang dinashkan oleh
Imam syafi'I, sah untuk melakukan itu.
37. HUKUM BERWANGI-WANGIAN BAGI ORANG
YANG I'TIKAF
Tidak mengapa bagi orang yang sedang I'tikaf atau orang
yang sedang puasa untuk berwangi-wangian.
Boleh baginya melakukan itu disiang hari Ramadhon atau dimalam harinya.
Bahkan itu mustahabbun karena Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam membolehkan
berwangi-wangian bagi laki-laki.
38.
HUKUM I'TIKAF DIHARI ‘IEDAIN
Sebagian ahlul ilmi mengatakan bahwa I'tikaf disyaratkan
harus puasa. Ia berkata bahwa tidak boleh I'tikaf dihari ‘iedain. Karena di dua
hari itu tidak diperbolehkan puasa. Akan
tetapi perkataan yang rojih adalah bahwa boleh I'tikaf tanpa puasa maka boleh
I'tikaf dihari ‘iedain dan tidak puasa di kedua hari itu.
39.
HUKUM I'TIKAF DISELAIN MASJID
Tidak sah I'tikaf diselain masjid
berdasarkan perkataan 'Aisyah Radhiyallahu ‘Anha: "tidak ada I'tikaf
selain didalam masjid".
40. HUKUM ORANG YANG MELAKUKAN DOSA
BESAR KETIKA IA BER'ITIKAF
Seperti mencuri, zina dan minum khamar. Imam Malik, Imam
Syafi'i Dan Imam Abu Hanifah Berkata: “ Dosa besar akan memutuskan I'tikaf
seseorang karena maksiat menghilangkan maksud dan niat I'tikaf yang dimaksudkan
beribadah pada Allah Subuhanahu Wata’ala. Jika ia melakukan dosa besar maka ia
telah melakukan hal yang memutuskan I'tikafnya, dan I'tikafnyapun menjadi
batal.
41. HUKUM
PEREMPUAN YANG SEDANG I'TIKAF KEMUDIAN DITALAK OLEH SUAMINYA, APAKAH IA HARUS
MEMUTUSKAN I'TIKAFNYA ATAU MENYEMPURNAKANYA.
Imam Malik Berkata: “Seorang wanita yang sedang I'tikaf
jika ditalak suaminya maka hendaknya ia menyempurnakan I'tikafnya sampai
selesai Sepuluh hari Dibulan Ramadhon. Kemudian setelah itu menghabiskan sisa
iddahnya dirumah suaminya”.
Adapun amam syafi'I berpendapat: “ Bahwa seorang wanita
yang sedang I'tikaf jika ditalak suaminya maka wajib untuk memutuskan
I'tikafnya untuk menunggu masa iddahnya dirumah suaminya”, dan ini yang rojih
dan dzohir….dan ilimu disisi Allah.
42.
HUKUM MENGHADIRI MAJELIS ILMU BAGI ORANG YANG SEDANG I'TIKAF.
Imam Malik Dan Imam Ahmad Berkata:
" Seorang yang sedang I'tikaf tidak boleh menghadiri majelis ilmu dan
tidak boleh menulis ilmu. Karena maksud dari I'tikaf adalah bukan menuntut ilmu
tapi untuk beribadah seperti shalat, puasa , baca al-qur'an dan dzikir kepada Allah
Subuhanahu Wata’ala.
Imam Syafi'i Dan Sufiyan Ats-Tsaury
Berkata: " Tidak apa-apa bagi seorang yang sedang I'tikaf untuk menghadiri
majelis ilmu”. dan inilah pendapat yang benar karena majelis ilmu adalah ibadah
orang yang sedang I'tikaf adalah sedang dalam ibadah dan mencari ilmu adalah
ibadah.
43 KAPAN ORANG YANG I'TIKAF
DIPERBOLEHKAN KELUAR DARI MASJID?
Telah dipaparkan sebelumnya bahwa I'tikaf selesai seiring
dengan terbenamnya matahari dihari terakhir Bulan Ramadhon. Akan tetapi mustahabbun
bagi orang yang sedang I'tikaf untuk tidak keluar dari masjid kecuali untuk
shalat ‘ied, kemudian boleh pulang ke-keluarganya setelah itu. Dan inilah yang
dilakukan oleh Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam sebagaimana yang diriwayatkan 'Aisyah Radhiyallahu
'Anha:
Artinya: “ Sesungguhnya Nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam tidak
keluar dari tempat I'tikafnya sampai datang waktu shalat ‘ied”.
Ini mustahabbun bukan wajib. Dan dari terbenam matahari
dihari terakhir Bulan Ramadhon sampai Shalat ‘ied tidak dinamakan
I'tikaf akan tetapi termasuk perkara mustabbun I'tikaf.
Saya
berharap pada Allah Subuhanahu Wata’ala agar kita semua diizinkan untuk bisa
I'tikaf di Sepuluh hari terakhir Bulan Ramadhon. Dan semoga Allah menerima
puasa, shalat, rukuk dan sujud kita, salawat untuk Nabi kita Muhammad Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam dan juga
untuk keluarga, dan para sahabatnya semuanya. Segala puji bagi Rabb Semesta
Alam.
Tulisan diatas adalah terjemahan dari
buku syekh kami
Syekh Abu
Abdurrahman Umar Bin Abdullah Bin Abdurrahman Bin Ismail
Semoga
bermanfaat bagi kita semuanya
وآخر دعواتنا والحمد لله رب العلمين...أسأل الله الإخلاص في
القول والعمل!ّأقول
وعلي الله توكلي
Tidak ada komentar:
Posting Komentar